Serial Webinar "Mengelola Yang Tersisa" Seri #9 Belajar Ekowisata dari Operation Wallacea

Serial Webinar "Mengelola Yang Tersisa" Seri #9 Belajar Ekowisata dari Operation Wallacea

Indonesia - 17 November, 2020

Operation Wallacea (Opwall) adalah organisasi penelitian keanekaragaman hayati dan operator ekowisata berbasis penelitian yang mengawali kegiatannya di Buton dan Wakatobi. Opwall menyediakan jasa bagi para ilmuwan muda untuk melakukan penelitian ilmiah pada daerah-daerah tropis yang masih asli dan memiliki keragaman hayati dan budaya tinggi baik di hutan maupun di laut. Untuk menyediakan jasa tersebut, Opwall melibatkan para pakar biologi dan sosial kaliber dunia dari universitas ternama di Eropa, Amerika, Kanada dan Australia untuk mendampingi ilmuwan muda melakukan penelitian keragaman hayati dan sosial. Opwall yang berdiri pada tahun 1995 memulai kegiatannya di Pulau Buton dan Taman Nasional Wakatobi.

Sayangnya, ledakan Bom Bali 1 pada tahun 2002, telah membuat ciut nyali para calon wisatawan Opwall. Gonjang-ganjing ini justru memberikan blessing in disguise bagi Opwall. Ketakutan para peneliti muda untuk datang ke Indonesia (karena alasan keamanan) telah mendorong Opwall mencari alternatif wilayah di luar Indonesia. Opwall dibawah kepemimpinan Dr. Tim Coles yang sangat energik, untuk mencari dan memasarkan tempat-tempat baru, hingga kini telah berkembang di 15 lokasi ekowisata di berbagai belahan dunia. Kini, setelah Opwall berkembang besar, mulai lima tahun terkahir yang dilibatkan bukan hanya ilmuwan muda yang sedang melakukan penelitian untuk S1, S2 dan S3-nya, tetapi juga pelajar sekolah menengah.

Pengalaman Opwall dalam mendisain program ekowisata dan memasarkannya ke seluruh dunia dan Yayasan Operasi Wallacea Terpadu (OWT) dalam melakukan pendampingan pengembangan ekowisata di Hutan Lindung Sungai Lesan (HLSL), Berau, Kaltim dengan sumber pendanaan dari Tropical Forestry Conservation Act (TFCA) Kalimantan ini telah menjadi topik diskusi serial webinar Tropenbos Indonesia “Mengelola Hutan yang Tersisa” seri ke-9, dengan narasumber Prof. Dr. Ir. Endang Koestati Sri Harini Muntasib, MS (Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB), Dr. Tim Coles OBE (Direktur Opwall dan pendiri Operation Wallacea Trust), Dr. Christ Major (Manager Opwall Indonesia yang bertindak sebagai translator), Ujang S. Irawan, S.Hut., M.Si (Program Manager OWT) dan Dr. Edi Purwanto (Direktur Tropenbos Indonesia yang juga Ketua Yayasan OWT. Dimoderatori oleh Henry Ali Singer (Manager CSR Banyan Tree Bintan), webinar ini berlangsung selama 3 jam yang dilaksanakan pada Sabtu, 14 November 2020, diikuti lebih dari 250 peserta baik melalui zoom maupun youtube streaming.

“Keistimewan Opwall dalam pengembangan ekowisata adalah tidak diperlukannya pembangunan infrastuktur, karena betujuan menampilkan keaslian alam, keragaman hayati hutan dan keindahan terumbu karang serta budaya masyarakat setempat. Karena itu dampak ekonominya dinikmati langsung oleh masyarakat tempatan. Mereka memanfaatkan rumahnya untuk home-stay dengan memperbaiki toilet dan menyediakan kelambu di kamar tidurnya, mereka juga bisa menjadi porter, guide, interpreter, juru masak, sopir dsb. Pergaulan masyarakat dengan pelajar dan peneliti dari berbagai negara ini telah menumbuhkan kebanggaan dan kecintaannya terhadap hutan dan lautnya. Mereka sadar bahwa wisatawan dari berbagai penjuru dunia itu ingin melihat dan menikmati kekayaan hutan dan keindahan terumbu karang lautnya, sehingga mereka wajib untuk terus menjaga hutan dan lautnya dari kerusakan. Dampak ekowisata Opwall terhadap perbaikan ekonomi masyarakat dan kelestarian alam lingkungannya adalah hal yang sangat penting untuk diteladani oleh berbagai pengembang ekowisata di Indonesia” kata Dr. Edi Purwanto, Direktur Tropenbos Indonesia yang bergabung dengan Opwall di Buton dalam Program Konservasi Hutan Lambusango (2004 – 2008), bersama Opwall mendirikan Operation Wallacea Trust yang kemudian pada tahun 2012 berubah nama menjadi Yayasan Operasi Wallacea Terpadu (OWT).

Meski mencatat sejumlah keberhasilan, mengembangkan ekowisata tidak berarti bebas dari hambatan. Sejak 1990-an hingga sekarang, misalnya, salah satu masalah utama yang kerap dihadapi adalah urusan visa. “Di sini ada perbedaan pandangan, karena pelajar yang datang diminta untuk menggunakan visa penelitian, padahal mereka tidak melakukan penelitian tetapi hanya mengamati jenis-jenis burung yang mereka lihat,” kata Tim. Namun hal ini biasanya dapat diatasi bila dikomunikasikan dengan baik. Salah satunya dengan bermitra dengan Universitas Hasanuddin untuk sektor kelautan dan Universitas Haluoleo untuk ekowisata hutan.

Ujang Susep Irawan, S.Hut., M.Si., Program Manager OWT memaparkan " Salah satu outcome penting Program TFCA Kalimantan adalah bahwa masyarakat di sekitar HLSL menyadari pentingnya pemanfaatan HLSL sebagai destinasi ekowisata internasional”. Pada 2019, lebih dari 200 pelajar setingkat sekolah menengah dari berbagai negara telah berkunjung ke HLSL, belajar budaya masyarakat di Kampung Lesan Dayak dan melakukan survei keragaman hayati di HLSL.

Kegiatan ekowisata HLSL ini diinterkoneksikan dengan ekowisata laut di Pulau Derawan yang lebih dulu berkembang, sebagaimana Hutan Lambusango di Buton dan Taman Nasional Wakatobi di Sultra.

Prof. E.K.S Harini Muntasib, Guru Besar Ekowisata Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) mengulas bahwa "Opwall merupakan contoh nyata dari ekowisata yang sesungguhnya karena ada unsur penelitian, pendidikan, wisatawan puas karena mendapatkan pengalaman hidup di hutan dan laut bersama masyarakat". Sebagai masukan beliau mengharapkan agar “Opwall bisa berbagi pengalaman kepada masyarakat Indonesia tidak hanya dalam hal menjalankan kegiatan lapangan, lebih dari itu Opwall diharapkan bisa berbagi pengalaman dalam hal pemasaran sehingga menarik para pelajar nasional dan internasional untuk mengikuti kegiatan ekowisata di Indonesia”.

Materi presentasi bisa di download disini

Tonton rekaman webinar: